Setiap tahun kita sebagai bangsa Indonesia memeringati 2 momen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua momen penting tersebut, pertama, 1 Juni kita peringati sebagai Hari Lahir Pancasila dan kedua, 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Dua momentum besar dalam sejarah kehidupan kenegaraan kita ini memuat pesan-pesan penting yang perlu direfleksikan bersama. Peringatan hari lahir Pancasila tidak cukup hanya dimanifestasikan melalui kegiatan upacara seremonial dan gegap gempita sloganistik melalui media sosial.
Indonesia merupakan negara majemuk dan negara kepulauan. Wilayahnya tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kemajemukan bangsa Indonesia meliputi etnik, bahasa, seni, budaya, dan juga agama. Semua itu merupakan fakta empirik yang tidak bisa dimungkiri, apalagi dinafikan. Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk.
Sejarah panjang terbentuknya Republik ini pun tidak lepas dari pemikiran-pemikiran besar dan konsensus warga bangsa. Kekayaan dan keberagaman bangsa Indonesia ini termanifestasikan dalam Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan ini diadopsi dari Kitab Sutasoma karya Empu Tantular di era kerajaan Majapahit.
Memasuki era milenium kedua (sejak tahun 2000) saat ini Indonesia menghadapi tantangan besar di mana harmoni sosial terancam. Sentimen-sentimen primordial masih menjadi potensi yang bisa merusak kehidupan sosial. Muncul krisis relasi sosial yang diliputi suasana saling curiga. Terdapat berbagai persepsi negatif satu sama lain di antara berbagai kelompok masyarakat. Dengan demikian, dalam kehidupan kita sebangsa menyimpan potensi disharmoni dan disintegrasi sosial.
Fakta sampai hari ini masih muncul krisis atau konflik sosial di beberapa wilayah. Sejumlah konflik sosial yang terjadi di beberapa wilayah tersebut muncul dari beragam faktor. Konflik sosial akan semakin bereskalasi tinggi jika diprovokasi oleh kepentingan politik tertentu. Setidaknya ada beberapa faktor penyebab yang kita bisa identifikasi dari sejumlah krisis dan konflik sosial yang terjadi, antara lain ekonomi, politik, budaya, sumber daya alam.
Jika ditelisik ke belakang, tidak bisa dimungkiri bahwa hampir dalam kurun waktu tiga puluh tahun lebih semasa rezim Orde Baru pendekatan terhadap konflik sosial lebih mengedepankan security approach ketimbang pendekatan kultural. Celakanya, diakui atau tidak, pendekatan keamanan ala militeristik memang kerap tidak efektif untuk menyelesaikan krisis sosial yang terjadi.
Masyarakat multikultural Indonesia adalah masyarakat yang bercorak majemuk (plural society). Dalam corak masyarakat Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika” itu tidak hanya dijumpai keanekaragaman kelompok etnis, agama, dan budaya, tetapi dijumpai pula keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dalam konteks itulah, multikulturalisme menjadi penting dalam kehidupan kebangsaan kita. Multikulturalisme berkaitan dengan pemahaman, penerimaan, dan penghargaan terhadap segala perbedaan dalam kesederajatan baik individu maupun kelompok yang berkaitan dengan pendapat, ide, tradisi, adat istiadat, dan unsur nilai budaya lainnya.
Pelestarian dan Pengejahwantahan Kearifan Lokal
Tradisi atau budaya lokal yang secara umum dijumpai di masyarakat sering pula diidentikkan dengan istilah kearifan lokal (local wisdom). Secara kamus, kearifan lokal merupakan frase yang terdiri dari dua kata, yaitu kearifan dan lokal. Menurut kamus Oxford Dictionary, Fourth Edition, Oxford University Press (2008), local berarti setempat, sedangkan wisdom berarti kebijaksanaan. Sedangkan secara umum kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi, kearifan lokal sendiri dikenal dengan istilah local genius. Local genius dinyatakan sebagai “the sum of the cultural characteristics which the vast majority of people have in common as a result of their experiences in early life.”
Kearifan lokal (local wisdom) sesungguhnya melekat dalam khasanah kepribadian bangsa Indonesia yang multietnik. Setiap etnik memiliki kearifan lokalnya sendiri. Indonesia memiliki sekitar 500 kelompok etnis dan 700 bahasa. Hal itu merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ditemukan di bangsa lain. Etnik Dayak misalnya, memiliki falsafah Huma Betang. Falsafah ini mencerminkan nilai-nilai luhur yang penting untuk dijaga dan dilestarikan. Nilai-nilai luhur dalam falsafah Huma Betang tersebut antara lain hapahari (kebersamaan dan persaudaraan), belom bahadat (hidup beradab dan beretika), dan hapakat kula (saling bermufakat).
Pentingnya nilai-nilai kearifan lokal dalam menjaga dan merawat harmoni sosial pun diapresiasi baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dengan mengeluarkan produk hukum. Pemerintah dalam hal ini menerbitkan UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Sebagai bentuk penjabaran teknis dari UU tersebut, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 26 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Konflik Sosial di Bidang Sosial.
Dalam Peraturan Menteri Sosial tersebut dijelaskan bahwa kearifan lokal diartikan sebagai tatanan keyakinan nilai dan kebiasaan dalam masyarakat yang telah berakar dan menjadi pegangan hidup sehingga tercipta keharmonian dalam masyarakat. Secara detil Peraturan Menteri Sosial tersebut juga menjelaskan tentang pencegahan konflik sosial yang salah satunya dilakukan melalui kegiatan penguatan kepranataan kearifan lokal. Hal itu termaktub secara jelas dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Sosial dimaksud.
Dalam konteks kehidupan sosial di Kalimantan Tengah sendiri, pentingnya kepranataan kearifan lokal pun juga diperkuat melalui Perda Provinsi Kalimantan Tengah No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah secara demografi juga merupakan wilayah atau daerah yang majemuk. Kesadaran atas kemajemukan warganya menjadi satu alasan Kalimantan Tengah kemudian dinyatakan sebagai “Bumi Pancasila” oleh Gubernur Agustin Teras Narang.
Realitas kehidupan sosial kita hari ini memang penuh dengan kompleksitas masalah. Kompleksitas masalah tersebut tentu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk turut menyelesaikannya. Proses pembangunan nasional yang berkelanjutan dengan menerapkan asas pemerataan dan keadilan di semua wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan komitmen kita sebagai bangsa. Kesenjangan pembangunan nasional di era-era sebelumnya secara bertahap kini mulai diatasi. Sebab tiap wilayah dalam NKRI memiliki hak sama untuk merasakan hasil pembangunan nasional.
Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa kita yang di dalamnya memuat nilai-nilai kearifan lokal tentunya penting untuk terus dihayati dan dilestarikan dalam praktik kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan kita. Kita sebagai bangsa tidak hanya menghadapi ancaman dari dalam negeri saja, namun juga ancaman dari luar negeri. Oleh karena itu, kesatupaduan dan kebersamaan menjaga keutuhan dan keberlangsungan Republik ini merupakan keniscayaan dan komitmen kita bersama. Kemajemukan sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada negeri dan Tanah Air ini sudah semestinya kita tempatkan dalam bingkai kesatuan, dan kesatuan ini kita tempatkan pula dalam bingkai keragaman. Pluralitas dan unitas harus kita kembangkan secara dinamis dan kreatif dalam rangka memerkaya jati diri dan khazanah kebudayaan bangsa.