Publik dalam 2 minggu terakhir dibuat gaduh soal omongan seorang Rocky Gerung (RG) yang dianggap telah menyerang pribadi Presiden JKW dengan kata-kata yang bernada menghina dan melampaui batas.
Frasa ‘bajingan tolol’ yang dilontarkan RG telah menyulut polemik panas di masyarakat. Beberapa kelompok masyarakat pun bereaksi keras dengan berunjuk rasa dan bahkan melaporkan RG ke pihak kepolisian.
RG dianggap telah melakukan ujaran kebencian dan penghinaan karena kata-katanya ketika memberikan orasi pada sebuah pertemuan yang digelar beberapa waktu lalu. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, pun tak ketinggalan mengambil sikap dan pernyataan kerasnya terhadap RG. Ia dengan tegas mengatakan apa yang telah diucapkan oleh RG tidak bisa lagi ditolerir.
RG dipandang justru mengedepankan kebencian ketimbang memberikan penilaian secara obyektif atas kerja-kerja pemerintahan Presiden JKW selama 2 periode ini.
Kebenciannya terhadap rezim saat ini justru telah menghilangkan akal sehatnya sendiri. Kemarahannya kepada rezim pemerintah saat ini sesungguhnya adalah bentuk penderitaannya sendiri.
Sebaliknya, beberapa cendekiawan seperti Refli Harun, melihat kasus RG lebih pada aspek normatif demokrasi dan hukum. Menurutnya apa yang disampaikan RG merupakan kritik seorang warga negara yang pada dasarnya memang dijamin oleh konstitusi.
Dalam kacamata hukum, apa yang diucapkan RG sebenarnya tidak bisa diproses hukum, sepanjang pihak yang dijadikan sasaran penghinaan tidak mengajukan laporan secara pribadi ke polisi karena sifatnya merupakan delik aduan. Dan delik aduan tidak bisa diwakilkan. Artinya, beberapa kelompok masyarakat yang mengadukan RG ke pihak kepolisian tidak dapat dikatakan mewakili pribadi Presiden JKW.
Seperti telah diberitakan oleh banyak media berita nasional baik media berita mainstream maupun media berita online, Presiden JKW sendiri justru menyikapi dengan santai dan tidak ambil pusing atas apa yang diucapkan oleh RG. Presiden JKW justru berkomentar bahwa hal itu soal kecil dan ia lebih fokus bekerja untuk rakyat.
Demokrasi memang telah memberikan jaminan kebebasan kepada setiap orang untuk berekspresi dan mengungkapkan pendapatnya. Hal itu pun telah dijamin oleh konstitusi.
Hanya saja, berdemokrasi sesungguhnya bukan sekadar manifestasi kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh hukum, tetapi juga ada nilai atau aspek keadaban (civilized) yang tetap harus diutamakan dan dikedepankan.
Berdemokrasi yang sehat adalah ketika wacana perdebatan dan pertentangan dibingkai dengan kaidah-kaidah kesusilaan atau keadaban di mana kesederajatan atau kesetaraan dikedepankan.
RG selama ini memang dikenal sebagai sosok akademisi yang sangat vokal dan kritis terhadap pemerintahan Presiden JKW. Sederhananya, ia dianggap sebagai oposan sekaligus kritikus ‘papan atas.’
Jika kita mengikuti rekam jejak RG melalui beragam kanal media, maka hampir semua yang dikatakannya di pelbagai forum tidak ada yang bernada positif terhadap pemerintahan Presiden JKW. Di matanya, pemerintahan Presiden JKW tidak sama sekali berkomitmen untuk rakyat, namun justru mengkhianati rakyatnya sendiri.
Di tengah kegaduhan publik, RG pun lantas meminta maaf secara pribadi, bahkan ia sendiri mengklaim bahwa dirinya selama ini memiliki hubungan baik dengan Presiden JKW.
Cukupkah hal itu untuk menyelesaikan masalah dan kegaduhan yang sudah kadung terjadi?. Apakah permintaan maaf merupakan sebuah cara paling baik untuk menyelesaikan setiap masalah?.
Apakah setiap masalah juga harus diselesaikan melalui jalur hukum hanya karena negara ini adalah negara hukum?. Bagaimana kita menjawab ketiga pertanyaan tersebut?. Jawabannya bergantung pada sudut pandang atau perspektif yang digunakan.
Permintaan maaf seseorang kepada orang lain yang merasa dirugikan secara langsung atas perkataan atau perbuatannya sesungguhnya mengandung 3 hal utama dan penting. Pertama, penyesalan. Artinya, seseorang yang meminta maaf dengan tulus menyesali atas tindakannya. Ia berempati terhadap orang yang barangkali merasa tersakiti. Kedua, pertanggungjawaban. Seseorang yang meminta maaf dengan kesadarannya sendiri bertanggung jawab sepenuhnya atas ucapan dan tindakan yang merugikan atau menyakiti orang lain, bukan justru menyalahkan orang lain, dan Ketiga, perbaikan diri. Artinya, orang yang meminta maaf, ia berkomitmen kepada dirinya sendiri untuk memerbaiki dirinya dan tidak untuk mengulanginya kembali.
Hal penting adalah bahwa meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan tidak lantas membuat seseorang kehilangan harkat dan martabatnya. Justru meminta maaf secara tulus adalah anugerah bagi yang meminta maaf untuk dirinya sendiri.
David Whyte, seorang filosof dan penyair berkebangsaan Inggris pernah berkata demikian: “how to apologize: quickly, specifically, sincerely. Don’t ruin an apology with an excuse.”
Sebagai warga bangsa, kita sungguh berharap bahwa demokrasi di Republik ini sudah seharusnya dibangun dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban dan kemanusiaan.