Krisis pandemi global telah memicu kontraksi ekonomi terburuk dalam seabad terakhir, meninggalkan dampak signifikan pada sektor kesehatan, pekerjaan, dan kesejahteraan sosial di seluruh dunia. Namun, di tengah semua tantangan ini, Indonesia memiliki peluang untuk bertransformasi menjadi ekonomi yang lebih hijau dan berkeadilan.
Pandemi telah membuka mata banyak pihak mengenai urgensi perubahan fundamental dalam cara kita mengelola sumber daya dan ekonomi. Krisis ini mempercepat langkah menuju ekonomi yang lebih seimbang, tidak hanya mengejar pertumbuhan dan laba semata, melainkan juga memperhatikan keberlanjutan sosial dan lingkungan. Sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045, semakin jelas bahwa model ekonomi linear yang menghasilkan limbah berlebihan dan merusak ekosistem harus ditinggalkan, digantikan oleh pendekatan ekonomi sirkular yang lebih ramah lingkungan.
Ekonomi sirkular memungkinkan limbah dari suatu proses dapat digunakan kembali sebagai bahan untuk proses lainnya. Ini tidak hanya membantu mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya. Dalam jangka panjang, transisi menuju ekonomi sirkular dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan daya tahan ekonomi, dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam yang terbatas.
Selain itu, upaya pemulihan ekonomi pascapandemi menjadi momen penting bagi pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmennya terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). SDGs yang disepakati secara global sejak 2015 menyoroti pentingnya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan, mengurangi kemiskinan, serta menjaga lingkungan. Indonesia, sebagai salah satu ekonomi berkembang terbesar, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa pemulihan ekonomi pasca pandemi didasarkan pada prinsip-prinsip keberlanjutan.
Namun, perubahan iklim tetap menjadi tantangan besar dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), terutama karbon dioksida (CO2), dari sektor industri dan energi mempercepat pemanasan global yang memicu bencana alam seperti banjir dan kekeringan. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) melaporkan bahwa emisi global GRK naik 43% dalam dua dekade terakhir, memperparah krisis iklim yang semakin mendesak.
Kegiatan ekonomi global, terutama di sektor industri dan energi, menyumbang besar terhadap emisi karbon. Negara-negara besar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat memimpin dalam hal emisi CO2, sementara Indonesia berada di peringkat kedelapan. Ekonomi domestik yang berkembang pesat meningkatkan permintaan energi yang sebagian besar masih bergantung pada bahan bakar fosil, yang menempatkan Indonesia pada risiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan.
Sektor-sektor seperti listrik, transportasi, dan industri menjadi kontributor utama emisi karbon di Indonesia. Pembangkit listrik yang berbasis batu bara menjadi sumber utama emisi karbon di negara ini, sementara industri baja, semen, dan plastik turut menyumbang secara signifikan. Jika tidak ada perubahan dalam cara produksi dan konsumsi energi, krisis iklim akan semakin memburuk.
Sektor konsumsi makanan juga berperan penting dalam menyumbang emisi GRK. Industri pertanian dan peternakan bertanggung jawab atas sekitar 28% emisi global, dan industri mode, yang sering terlupakan, menyumbang sekitar 10% dari total emisi karbon dunia setiap tahun.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Indonesia harus menerapkan strategi pembangunan rendah karbon sebagai bagian dari transformasi menuju ekonomi hijau. Pendekatan ini bukan hanya menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan lingkungan, tetapi juga memastikan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang. Langkah-langkah efisiensi energi, seperti yang diajukan oleh Kementerian Perindustrian, dapat mengurangi konsumsi energi hingga 30%, yang berarti pengurangan emisi yang signifikan.
Selain itu, reformasi kebijakan fiskal, termasuk penerapan pajak karbon, dapat menjadi langkah penting untuk menekan emisi di sektor-sektor yang paling berkontribusi terhadap perubahan iklim. Pajak karbon dirancang untuk mendorong perusahaan mengadopsi teknologi ramah lingkungan, dengan target pengurangan emisi yang signifikan pada tahun 2030.
Kerja sama antara individu, industri, dan pemerintah sangat penting untuk menghadapi krisis iklim ini. Setiap langkah untuk mengurangi emisi membawa kita lebih dekat pada masa depan yang lebih berkelanjutan. Indonesia harus bergerak cepat dalam mewujudkan transisi menuju ekonomi hijau yang inklusif, memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.