Membaca dan menulis merupakan dua jenis kata kerja. Keduanya berhubungan erat dengan keterampilan berbahasa. Dari keduanya pula peradaban manusia terus terjaga.
Kemampuan membaca dan menulis bukan dua jenis kemampuan yang dapat dimiliki dengan sendirinya oleh seseorang, tetapi keduanya membutuhkan proses pembelajaran.
Tidak heran jika membaca dan menulis dianggap sebagai aktifitas yang membutuhkan kemauan dan ketekunan, bahkan kedisiplinan. Konon keduanya juga menjadi ciri kemajuan suatu bangsa.
Membaca dan menulis merupakan dua hal yang pasti berhubungan erat dengan aksara. Oleh karena itu, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) telah menetapkan tanggal 8 September setiap tahun sebagai Hari Aksara Internasional atau Hari Literasi Internasional. Melalui laman resminya, UNESCO mengambil tema Hari Aksara Internasional tahun ini: _“Promoting literacy for a world in transition: Building the foundation for sustainable and peaceful societies”_.
Sampai saat ini pun gerakan literasi (melek aksara) terus dikampanyekan dan dilakukan dengan beragam cara dan di banyak tempat di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Ada spirit volunteristik dalam gerakan-gerakan literasi yang dilakukan.
Beberapa waktu lalu kita telah kehilangan seorang sosok pejuang literasi yang gigih, Nirwan Arsuka. Ia sosok yang tanpa lelah dan tanpa pernah mengeluh terus bergerak membangun budaya literasi di negeri ini melalui Pustaka Bergerak-nya.
Membaca dan menulis dari waktu ke waktu telah dan akan terus berkembang sedemikian rupa seiring kehadiran dan kemajuan teknologi. Bukankah sifat dasar teknologi itu adalah untuk lebih memudahkan bagi aktifitas manusia?
Teknologi telah berkontribusi nyata bagi perubahan cara manusia dalam membaca dan menulis. Mulai awal ditemukannya mesin cetak sampai teknologi digital saat ini.
Buku-buku sudah tidak lagi sepenuhnya dicetak _(printed)_, tetapi beralih rupa dengan berbasis digital _(paperless)_. Menulis juga tidak melulu lagi pakai tinta _(ink)_.
Pendeknya, membaca dan menulis mengalami perubahan baik dari aspek cara maupun aspek _medium_ yang digunakan.
Setiap orang pada dasarnya memiliki pengalamannya sendiri dalam hal membaca. Mungkin kita bisa mengajukan pertanyaan sederhana seperti ini: di mana tempat favorit anda untuk bersembunyi dan membaca (buku)?.
Apakah kita akan menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban di manapun kita dapat membaca?. Membaca atau tidak membaca? merupakan pertanyaan yang sama: bernafas atau tidak bernafas?. Membaca berarti hidup. Dengan membaca kita hidup, tanpa membaca, kita mati. Mungkin begitu bahasa sederhananya.
Bagi seorang perempuan, Ruth Bader Ginsburg, ia memiliki ungkapan tersendiri terkait pengalamannya dengan dunia membaca. _“Reading shaped my dreams, and more reading helped me make my dreams come true”_
Lantas bagaimana dengan menulis?. Menulis juga bukan perkara mudah, meskipun sejak kecil kita telah diajarkan untuk menulis. Ada quote popular dari seorang sastrawan besar di republik ini, Pramoedya Ananta Toer. Katanya: “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Bagi orang yang tidak terbiasa menulis, konon akan selalu mengalami masalah: dari mana mau menulis, apa yang mau ditulis, dan bagaimana menuliskannya?. Tetapi bagi para penulis, mereka hanya mengimani satu hal: _scripta manent, verba volant_. Apa yang tertulis akan abadi, apa yang terucap akan hilang dihembus angin. Dan satu hal, membaca bagi seorang penulis ibarat tenaga dalam bagi seorang pendekar. Mahbub Djunaidi, tokoh pergerakan, dikenal dan dijuluki sebagai pendekar pena karena karya-karya tulis yang dilahirkannya.
Jadi, membaca apa saja dan menulis apa saja merupakan cara kita hidup. Membaca adalah memerkaya jiwa, menulis adalah mengabadikan.